Lima hati baja dari Pee Wee Gaskins ini tetap kukuh dan konsisten dengan apa yang mereka kerjakan meski gelombang hujatan sekaligus pujian coba menghantam perahu mereka, dan semua cerita tentan perjalanan awal, efek ketenaran, party dorks, para pembenci serta keuntungan bergabung dengan major label.
Pee Wee Gaskins
Nama Pee Wee Gaskins pun diambil dari nama pembunuh berantai yaitu Donald Henry Pee Wee Gaskins,seorang pesakitan pembunuh asal amerika serikat yang telah membantai sekitar 100 korbannya dengan cara bervariasi: menikam,mencekik,menembak dan memutilasi, musik mungkin bukan menjadi kesenangan utamanya karena tidak ada satu pun apresiasinya dibidang ini, berbeda dengan Charles Manson, pembunuh berantai amerika serikat lainnya yang menamai sekte-nya dengan lagu The Beatles, "Helter Skelter" serta mempunyai hubungan khusus dengan dennis wilson, drumer The Beach Boys. Gaskins yang bertubuh mungil - dari situlah julukan 'pee wee' disematkan - lebih terlihat seperti manusia yang tidak berbahaya, tapi siapa sangka di dalam penjara ia berhasil meledakan kepala seorang napi paling ditakuti dengan sebuah radio. Hingga akhir hayatnya di atas kursi listrik tahun 1991, Donald Gaskins tidak akan pernah menyangka jika kekejamannya mencabut nyawa ternyata telah menginspirasi seseorang di belahan dunia lain, Alditsa Sadega atau Dochi untuk mengabadikan namanya menjadi identitas ban barunya.Berawal dari pergaulan komunitas scene yang kala itu dipenuhi oleh band band bernama seram, mendorong Dochi untuk menyesuaikan diri, "Niatnya pengen nama yang serem tapi musiknya tetep kaya kita, jadi ada kesan kontrasnya." Hasil pencarian di google dengan kata kunci serial killer membawa sosok Donald Gaskins kepadanya, "Donald Gaskins badannya kecil tapi portofolio membunuhnya udah ratusan orang lebih, akhirnya korelasinya kita bikin: kecil-kecil bisa bunuh," ungkap dochi lagi.
The Side Project (TSP) adalah band utama vokalis-(sekarang) basis Dochi ketika melangkah pertama kali di scene independen nasional. Setelah sempat mendapat perhatian lokal lewat single “Persetan Dengan Dia” dalam kompilasi Anthem of Tomorrow, TSP menemui kebuntuan yang berujung keluarnya Dochi untuk kemudian menjadi session guitarist bagi penyanyi Sherina. Dibanding hanya menjadi gitaris pengiring, naluri kreatif Dochi kembali diluapkan secara iseng dengan menciptakan dan merekam beberapa lagu di studio di mana ia memainkan semua instrumennya. Lagu “Here Up On The Attic” yang menurut Dochi secara tidak sengaja mengandung unsur synthesizer karena menemukan sebuah controller di studio, dijadikannya sebagai pemicu semangat untuk kembali membentuk band, ”Makanya musiknya kayak Pee Wee (Gaskins) yang sekarang ini,” “Intinya, Pee Wee Gaskins adalah sebuah pembuktian, bahwa keluarnya saya dari The Side Project tidak menghentikan ambisi saya,”ujarnya.
Meski dicomot secara satu per satu dari berbagai band, namun setiap anggota Pee Wee Gaskins (PWG) tergabung dari komunitas yang sering bermain bersama dalam setiap gig underground ibukota. Dan semuanya bergabung dengan PWG setelah berjudi meninggalkan band awal masing-masing. Gitaris Fauzan atau Sansan awalnya adalah vokalis dari band emo, Killing Me Inside (KILLMS) yang telah merilis sebuah album A Fresh Start For Something New. Menjalani dua band secara sekaligus membuat Sansan harus segera menentukan pilihan, “Ngebagi waktunya susah, kecuali gue-nya ada dua,” ujar gitaris dengan tato di sekujur lengannya. Sansan melanjutkan, “Gue merasa lebih nyaman disini, jadi alasannya udah jelas gue milih disini (PWG), karena hidup itu pilihan, kawan!” Namun, Dochi tidak hanya memerlukan seorang vokalis sejati untuk menutupi kelemahan suaranya tapi juga yang mampu bernyanyi sambil bermain gitar dengan sama baiknya, “Gue tahu keterbatasan vokal gue, gue butuh vokalis yang bagus, jadi gue tarik Sansan, tapi gue nggak mau dia nyanyi doang soalnya ntar kan sama aja kayak Killing Me (Inside),” sebut Dochi yang pernah menjadi additional gitar KILLMS. Yang menarik adalah proses perekrutan Reza Satiri (Omo) sebagai pemain synthesizer. Dochi yang tidak mengenal Omo secara 'terpaksa' harus memperalat seorang bernama Telor, pemain bas di band Too Late Too Notice di mana Omo juga bermain untuk kemudian mengajak keduanya bergabung di PWG, “Di pergaulan kita, satu-satunya orang yang bisa main kibor ya cuma Omo,” ujar Dochi. “Gue 'ngambil' Telor biar gue kenal Omo.” Terakhir, dramer Renaldy Prasetya atau AldyKumis diajak bergabung untuk melengkapi formasi PWG setelah direkomendasikan seorang teman.
Selama setahun formasi ini bergerilya dari satu gig ke gig lainnya, “Strategi 'always a step a head than the rest' adalah motivasi dasar membentuk Pee Wee Gaskins,” kata Dochi. Ketika band lain sibuk memikirkan bagaimana aksi panggung dan dandanan yang menarik agar band mereka berkesan, PWG memilih alternatif lain: Myspace. “Gue dan Aldy mendedikasikan hampir 24 jam setiap hari mempromosikan musik, we pushed ourselves in almost everything we do,” kata Dochi. Strategi lainnya adalah promosi lewat merchandise, “Kita sibuk membuat merchandise dan melempar sebanyak mungkin demo ketika manggung,” lanjutnya, hingga tiba-tiba t-shirt bertuliskan “Pee Wee Gaskins” tersebar dan dikenakan secara masif oleh banyak remaja tanggung SMP dan SMA. Di tengah gencarnya promo PWG lewat merchandise maupun live performance, Dochi menjelaskan, “Kita tiba-tiba menetapkan 11 April 2008 harus sudah keluar album, and we did!” Jejak pertama PWG ditorehkan melalui EP Stories From Our High School Years yang dikerjakan dalam waktu 2 bulan saja. Album itu secara otomatis mendongkrak nama PWG terutama di depan massa ABG. “Kita cuman bikin lirik yang relate ama orang. EP itu emang banyaknya tema (dari) cerita yang udah lewat waktu (kita) di high school,” ungkap Dochi yang banyak menulis lirik sekaligus menjawab anggapan PWG sebagai band dengan pasar 'highschool' terutama bagi para loser, “Bagaimana kita mengemasnya (PWG) dalam bentuk nerdy dan dorky dibawah nama seorang pembunuh berantai.”
(Me with @choasansan from Pee Wee Gaskins)
Dengan sebuah ep sebagai senjata dan popularitas sebagai idola baru para remaja, PWG kembali tancap gas dengan merilis debut album penuh The Sophomore dalam tempo setahun berikutnya dan juga mengganti pemain bass. "yang nggak diinginkan sekaligus diinginkan terjadi, si Telor mau keluar," ungkap Dochi. Selain karena kesamaan visi bermusik, ternyata PWG juga memperhatikan sisi detil tiap anggotanya, "Emang yang paling beda si Telor ini, dari penampilan, dari tua dan nggak tua-nya," lanjutnya. Harry Prahamardhika alias Ayi atau Eye yang tadinya seorang gitaris berputar haluan menjadi basis mengambil alih posisi Telor.
"Sophomore itu sekuel dari EP," kata Dochi tentang debut album yang diproduksi dan didistribusikan secara bersama oleh Variant Records dan Alfa Records itu. "Kalo di High School pake duit kita sendiri. Sampe penjualan abis, duit pun belum balik, jadi cuma buat gedein ama doang," ujar Dochi. Dengan dana yang ditanggung pihak label, kini PWG hanya berknsentrasi dalam hal proses kreatif, "Walaupun ada yang ngurusin masalah duitnya tapi masih dibatasin shift rekamannya," lanjut Dochi. Pengorbanan finansial di EP pertama membuahkan hasil populaitas di The Sophomore, dengan dibantu Ucay dari Rocket Rockers yang ikut membantu menulis "Berdiri Terinjak" dan gitaris Superglad, Dadi sebagai produser, album ini ludes terjual sebanyak 20.000 kopi yang langsung melejitkan PWG sebagai salah satu band muda yang harus diantisipasi. Ledakan The Sophomore terjadi secara bertubi-tubi, mulai dari banjirnya undangan pensi sampai gig bawah tanah, bertambahnya para pengikut setia, tawawaran dari luar negeri, menjadi trendsetter remaja sampai fenomena kemunculan anti-Pee Wee Gaskins (APWG). Semua anak pecundang SMPdan SMA tiba-tiba menemukan sosok yang mewakili mereka di lagu "Berdiri Terinjak", " Dorks Never Say Die". "Welcoming The Sophomore" atau "Dibalik Hari Esok". Kehidupan angota PWG pun sekarang dalam pengawasan publik - meski ekspos yang didapat belum sebesar musisi arus utama - maka tidak heran jika Sansan potong rambut saja dapat menjadi sebuah berita disebuah majalah remaja atau beredarnya foto sesorang mirip Sansan yang tengah mencium sesama jenis, hingga mencuat gosip jika gitaris berusia 24 tahun itu adalah seorang gay.
Efek samping ketenaran pun mulai dirasakan Dochi, "Kalai dulu abis manggung, orang dateng buat ngobrol, sekarang buat foto." "Kita lebih suka nongkrong, ngebir bareng," lanjutnya. Sansan mengatakan hal itulah salah satu benih dari para haters dikemudian hari, "Mereka akan gampang jadi anti sama kita, kalu yang nongkrong kan mereka jadi tahu kita itu kayak gimana." Gelombang kemunculan gerombolan para pembenci seakan mengiringi sukses PWG, Dochi sendiri tidak mengetahui secara pasti asal usul para APWG itu, "Salah satunya karena miskomunikasi." Kemunculan gerombolan haters tersebut mulai dirasakan ketika meledaknya The Sophomore yang serta merta menggiring naiknya level PWG sebagai band. "Kita itu di gig De Javu (Parkit) dan udah bilang nggak bisa main soalnya bentrok dengan jadwal lain, ternyata disitu banyak yang nungguin dan ada satu orang yang ngomporin kalo PWG ngga mau lagi main di gig," jelas Dochi, "Padahal abis itu kita masih main di gig." Yang terjadi kemudian adalah ironi: Internet yang tadinya sangat membantu mendongkrak popularitas PWG kini menjadi media yang menjatuhkan. Puluhan page APWG seperti "Anti-Pee Wee Gaskins" atau "Pee Wee Gaskins Anjing" di situs jejaring facebook berhasil menghasut ribuan foolowers yang sebenarnya tidak tahu menahu bahkan belum pernah mendengar musik mereka. Belum lagi blog-blog bernada serupa yang tak terhitung jumlahnya. "Kebanyakan mereka (APWG) cuma ikut-ikutan." Ada juga alasan lain yang diungkapkan Dochi, "Ada satu momen dimana jadi fans itu nggak terlalu keren lagi soalnya udah banyak, jadi haters lebih keren, padahal tetep dateng pas kita manggung." Dari sekedar perang urat syaraf di dunia maya, gelombang haters ini kemudia berkembang menjadi bentrok fisik di dunia nyata, "Tahun lalu kita sempet konfrontasi sama mereka (haters). Mereka 40 orang dan kita bersembilan, itu udah kaya hooligan kita ributin." Satu orang berhasil merek tarik untuk diinterogasi, "Pertanyaan pertama: Kenapa lo APWG?" "Nggak tahu bang, gue cuma ikut-ikutan," jawab itu orang. Jika shakespeare mengatakan 'apalah arti sebuah nama', itu tidak berlaku bagi anak-anak PWG. Dengan nama dari seorang pembunuh berantai, attitude PWG dengan sendirinya telah terbentuk, "if you wanna mess with us, we mess with you! jangan kira kita bakal diem," tantang Dochi. Secara tidak langsung munculnya APWG malah menambah semangat mereka, para APWG itu dianggap Dochi sebagai cambuk untuk membuktikan kemampuan. Anehnya, ketika tren APWG telah menurun akhir-akhir ini, Dochi malah merasa kebingungan, "Ada suatu dimana kita nggak pnya lagi APWG, justru nggak tahu lagi musik mau ditunjukin buat siapa," "Kita mau kasih liat gimana caranya untuk meraih sesuatu itu bukan hal yang gampang." Mental yang kuat akhirnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari band ini sebab sejak merebaknya APWG dimana-mana, kelima anggota PWG hampir selalu menjadi target sasaran pelemparan benda apapun ketika live, "Gue pernah dilempar tempe mentah," sebut anggota paling muda, Aldykumis. "Pernah juga dilempar sendal, batu, ludah, air kencing tapi kita nggak pernah berhenti, mau ditimpuk pake gajah juga kita akan tetep main," cetus Dochi. "Semakin gratis acaranya, semakin banyak yang nimpukin," ujar sansan yang menyalahkan sekuriti tiap terjadi aksi penimpukan, "Biasanya sekuriti agak tolol, disitu ada polisi juga tapi nggak ada yang ngamanin kan kasian yang bener-bener mau nonton." Dari yang tadinya menganggap angin lau, kehadiran APWG mulai mengganggu jadwal panggung PWG yang sering ditolak main akibat dianggap tidak aman oleh beberapa EO, "itu tai banget! Kalo ada lagi (APWG) kita tarik aja sati-satu," seru Dochi. Mereka pun telah menyiapkan segala kemungkinan terburuk setiap kita tampil, "Kalo emang terakhir kali gw manggung dan harus bunuh-bunuhan sama orang, oke, gw siap!" Keputusan untuk masuk Alfa (record) itu bener juga, soalnya kita juga sama-sama belajar, kita belom tau tai-nya industri," ungkap Dochi. "Alfa beda cara men-treat Pee Wee dengan band-band lainnya," ujar manajer mereka, Reegi Regani. "Biarpun kita full sign, tapi suasananya tetep santai karena kita kebiasaan D.I.Y dan begajulan," lanjutnya. "Lebih dikasih toleransi mabok," cetus Dochi sambil tertawa. PWG juga tidak mendapat tekanan apa pun dari segi kreatifitas dan idealisme, "Kita dibebasin banet mau ngapain aja, mau jadi apa nanti," ujar Ayi. "Enaknya tuh sekarang kita rekaman nggak usah mikirin apa-apa. Rokok, makanan tinggal bebas pesen, beda sama dulu yang masih mikirin tinggal berapa duit gue di kantong," ucap Sansan.
(Me with Omo PWG)
Ad Astra Per Aspera dalam bahasa latin atau "Sampai Ke Bintang Dengan Jerih Payah" adalah titel album penuh kedua PWG yang diambil dari slogan NASA, "Kita susah banget untuk sampai diposisi ini, itu aja intinya," ujar Dochi. Di album ini jugalah terjadi tukar instrumen di tubuh PWG: Dochi bernyanyi sambil main bas dan Ayi kembali menjadi gitaris yang disebabkan telatnya Ayi ketika workshop. Dari 13 materi yang sedang menjalani proses mixing dan mastering, hanya beberapa yang sudah dilengkapi dengan judul, diantaranya "Bukan Rahasia", "Detik Tak Bergerak", "Dari Mata Sang Garuda", "Jakarta Is a Mistake", dan "Satir Sarkas". Perjalanan yang ditempuh anak-anak PWG disebut Dochi tidak sampai membuat mereka melacurkan diri, "Karena Pee Wee Gaskins tetep Pee Wee Gaskins." Sansan juga tidak banyak mengusung ambisi muluk, "Pokoknya sih asal gue bisa puas aja." Apa pun yang terjadi di masa depan nanti, pernyataan Dochi seakan mewakili keteguhan dan kerja keras yang telah dilakukan selama beberapa terakir dan hasil yang telah didulang, "Membentuk Pee Wee Gaskins adalah salah satu keputusan terbaik di hidup saya dan belajar banyak dari 4 tahun jatuh bangun sebuah band yang mencoba keluar dari kolam kecil."
"VIDEO CLIP FROM AD ASTRA PER ASPERA"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar